Cara pandang para digital immigrant (orang-orang di luar generasi Z dan A), metode/media belajar yang digunakan para digital immigrant tentu sangat asing untuk para digital native ini. Generasi X atau Y (digital immigrant) dulu waktu sekolah, masih asing dengan teknologi, belum banyak terpapar teknologi seperti para digital native ini.
Model belajar yang diterima mereka masih teacher centered / berpusat pada guru, yang segala informasi akan diperoleh murid lewat guru, seolah-olah guru yang paling tahu dan yang paling benar, dan ini terbukti berhasil pada era nya. Sayangnya, asumsi tersebut masih banyak dipakai oleh beberapa pengajar, sehingga metode pembelajaran, media pembelajaran dsb, masih terkesan kuno atau justru membosankan bagi para digital native. Nah karena eranya berbeda, sekarang sudah tidak bisa lagi punya pola pikir itu. Dengan paparan teknologi dan informasi yang tinggi, bisa jadi digital native lebih banyak tahu dan lebih kritis dari kita para guru yang notabenenya sudah masuk pada era digital immigrant. Akibatnya, anak merasa paling tahu tentang pelajaran, malas sekolah karena merasa tidak usah sekolah (yang dianggap membosankan) sudah bisa dapat informasi dari internet, youtube, dsb.
Selain membosankan, ternyata ada beberapa hal lain nih bapak-ibu yang ternyata membuat anak lebih senang menggunakan gadget (baik untuk bermain ataupun mencari informasi).
Pertama, Gadget mampu memberikan Afeksi dan Atensi kepada anak. Begini penjelasannya, di games/gadget ada gambar dan suara yang dapat menarik perhatian mereka serta ada interaksi dari orang yang sama-sama bermain games/dari gadgetnya sendiri. Sebagai contoh: anak ingin tahu sesuatu, cukup pencet sebuah icon gambar aplikasi di hp, dia dapetin apa yang dia mau. Atau, saat ini sudah banyak tayangan televisi (baik dari TV local maupun TV Cable) yang menyuguhkan tontonan yang di claim sesuai dengan usia anak-anak kita. Mari kita perhatikan seksama, bapak dan ibu.. saya ambil contoh tontonan Tayo, disitu kita bisa melihat tampilan yang warna warni (menarik dilihat), interaktif dan ceritanya sederhana sesuai dengan target penontonnya.
Kedua, ada sasaran yang jelas. Di games ada level-level yang bisa di pilih oleh anak secara bebas memilih level yang dia rasa mampu selesaikan terlebih dahulu. Hal ini berdampak pada kemampuan anak dalam bertanggung jawab atas pilihannya dan juga kemampuannya dalam pengambilan keputusan. Sementara, di pembelajaran, anak “dipaksa” untuk mengikuti target belajar yang sudah dibuat oleh guru atau pemerintah dalam bentuk silabus dan kurikulum, padahal belum tentu anak “mampu” untuk mengikuti apa yang sudah dibuat secara general tersebut.
Ketiga, ada instruksi yang jelas. Di games, instruksi pasti jelas dan mudah dipahami. Misalnya: ia disuruh ke kanan, pasti ada tulisan dan simbol panah yang disajikan secara bersamaan, sehingga mendorong anak untuk mengikuti visualisasi instruksinya sampai mencapai targetnya sehingga anak tidak kehilangan arah saat mengikuti instruksi sebelumnya. Selain itu, instruksi juga diberikan secara bertahap, tidak sekaligus diberikan dan tidak rumit bagi anak. Di dalam pembelajaran sendiri, terkadang instruksi yang diberikan masih kurang jelas, terkadang kita juga menyajikan dalam instruksi yang panjang dan membingungkan bagi anak. Akibatnya anak merasa apa yang sedang diajarkan itu adalah hal yang rumit, dan pada akhirnya membuat motivasi anak belajar menjadi menurun.
Keempat, ada tips/hint. Di games, jika anak kesulitan anak dapat meminta petunjuk yang terbatas, sehinga anak dapat mengira-ngira kapan hint tersebut dapat dipakai dan tidak dapat dipakai. Dan hint ini diperuntukan semua pihak, tidak terkecuali. Anak bebas “bertanya” selagi dia punya kesempatan. Sementara , di pembelajaran anak yang nggak tau kadang nggak punya kesempatan bertanya, atau terkadang justru mendapat pengalaman yang tidak enak. Anak yang bertanya selalu dikaitkan dengan anak yang “bodoh”, tidak memperhatikan, dan terkadang jadi bahan olok-olok temannya atau bahkan gurunya sendiri. Padahal, ketika bertanya, bukan berarti anak nggak tahu kan yah? Tapi kadang bisa saja dia punya pikiran yang out of the box yang justru bisa membuat anak jauh lebih kritis.
Kelima, ada apresiasi. Setiap anak berhasil melewati target atau level tertentu di dalam sebuah permainan, pasti ia akan mendapatkan apresiasi langsung setelah mereka berhasil melewati atau menyelesaikan level tertentu, entah itu berupa kata-kata ataupun sifatnya reward berupa uang, barang, dsb. Sehingga, self-esteem pada anak meningkat. Sementara, di pembelajaran, terkadang minim sekali pemberian reward ataupun apresiasi secara langsung bagi murid yang “berhasil”, atau justru reward yang diterima nggak sesuai dengan kebutuhan dia, sehingga anak nggak tertarik sama pembelajaran tertentu.
Keenam, tidak ada paksaan. Karena anak-anak dapat afeksi, atensi, sarana eksplorasi, instruksi yang jelas, kesempatan bertanya, dan self-esteem yang baik pada games, anak akan senang hati bermain tanpa paksaan. Sementara, pembelajaran di sekolah seringkali dianggap “membosankan” bagi para digital native, baik dari medianya, metodenya, kegiatannya, dsb. Sehingga tidak banyak dari mereka merasa dipaksa untuk sekolah, hanya untuk memenuhi tuntutan/harapan orang tua.
Subscribe channel Seven Sense LSC agar tidak ketinggalan berbagai info menarik dan bermanfaat seputar psikologi.